Ditanda tanganinya kesapatan antara pemerintah Aceh dengan pemerintah Indonesia di Helsinky sekitar 7 tahun silam menjadikan Aceh sebagai provinsi dengan berbagai kekhususan yang tertuang dalam undang-undang pemerintah Aceh(UUPA). Hingga berbagai aturan di bumi seuramoe mekkah ini harus mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Namun, perjalanan Undang-undang ini tidaklah seperti apa yang pernah dicita-citakan rakyat Aceh tempo hari. Bagaimana tidak berbagai kepentingan yang memakan UUPA sebagai landasan terus menjadi-jadi ditambah dengan bungkusan mengatasnamakan rakyat Aceh. Sebagai salah satu contoh yang terus di dendangkan oleh para wakil rakyat di Aceh yaitu anggaran aspirasi anggota dewan.
Alokasi anggaran aspirasi yang diplotkan pada Anggaran Belanja Aceh
ini terus mendapat kritik yang tajam dari berbagai kalangan baik LSM anti
korupsi, mahasiswa dan kalangan lainnya. Bagaimana tidak, indicator
keberhasilan dari anggaran ini sangat diragukan, belum lagi penyalurannya yang
terkesan tidak rasional. Dalam proses realisasinya anggaran tersebut harus
mendapat rekomendasi dari anggota DPR Aceh yang kemudian ditujukan kepada
Satuan Kerja Pemerintah Aceh(SKPA) sesuai dengan muara program yang diusulkan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa anggaran ini laksana anggaran titipan anggota
dewan.
Proses penyaluran anggaran ini kian memprihatinkan, hal ini dilihat
dari tingginya kongkalikong antara anggota dewan dan pihak penerima bantuan dan
tak jarang terdengar khabar tentang bahasa hak amil anggota dewan dimana pihak
penerima bantuhan harus menyetor sekian persen kepada anggota dewan terkait.
Tidak hanya itu anggaran ini juga menuai kesan hanya diperuntukkan untuk usulan-usulan mereka yang mempunyai hubungan
tertentu dengan anggota dewan terkait baik itu family, maupun tim pemenangan,
sehingga wajar disebut sebagai bagian kue anggota dewan. Ironisnya, realisasi
dari program ini sangat tidak maksimal, justru hanya sebagian yang memang
terealisasi sesuai dengan usulan selebihnya masih menjadi tanda tanya, belum
lagi tidak adanya akuntabilitas dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat,
seperti pemotongan 50 persen dana yang diberikan untuk masyarakat dan berbagai
modus lainnya yang patut dipertanyakan. Jika hal ini benar adanya, sangatlah
tepat jika anggaran aspirasi tersebut merupakan anggaran bagi kue untuk para
anggota dewan.
Dana aspirasi ataupun kerap di sebut oleh wakil rakyat di Aceh
sebagai program aspirasi oleh para anggota dewan perwakilan rakyat Aceh(DPRA)
merupakan program yang telah berjalan selama tujuh tahun. Program ini memakan
dana anggaran APBA milyaran rupiah tiap tahunnya. Bayangkan saja selama 5 tahun awal berjalannya program ini setiap
anggota DPRA menghabiskan 2,5 Milyar pertahunnya dengan alasan untuk bantuan
aspirasi, sehingga dapat di asumsikan bahwa sebanyak 69 orang anggota DPR Aceh
yaitu sebesar 172,5 Milyar rupiah untuk program berjudul aspirasi ini.
Namun, tentunya lebih sangat mengejutkan di saat pengesahan RAPBA
2011, besaran untuk anggaran ini melambung dua kali lipat, yakni sejumlah 5
milyar perorang tiap tahunnya. Sehingga plot anggaran untuk aspirasi mencapai
345 Milyar rupiah.
Terungkapnya jumlah porsi penggunaan anggaran untuk aspirasi yang
melebihi dari ketetapan yang dianggarkan yang di bongkar Gerakan Anti
Korupsi(GeRaK) Aceh beberapa hari silam mulai membuat masyarakat bertanya-tanya
ada permainan apa di balik semua ini. Dana yang dialokasikan untuk aspirasi
pada tahun 2011 dan tahun 2012 sebesar 345 Milyar namun pada pelaksanaannya
pada tahun 2011 277,6 Milyar dimana 7 anggota dewan dicoret anggaran yang
diusulkan oleh pemerintah Aceh, kendatipun demikian terdapat anggota DPR Aceh
yang menggunakan anggaran ini melebihi jumlah yang telah ditetapkan, yaitu sebesar
5 Milyar rupiah per anggota DPR Aceh.
Yang sangat mengejutkan masyarakat Aceh, di tahun 2012 anggaran
untuk program yang berjudul aspirasi ini meraup 572 Milyar dari Anggaran
belanja Aceh, dimana terdapat 61 dari 69 orang anggota DPR Aceh yang menggunakan
anggaran melebihi dari jumlah yang telah ditetapkan. Sehingga dapat dikatakan
227 Milyar rupiah penggunaan anggaran diluar plot anggaran yang telah
ditetapkan.
Sungguh memilukan anggaran yang di dengungkan sebagai program
aspirasi ini selama 7 tahun telah
menelan triliunan rupiah uang rakyat Aceh tanpa kejelasan dan manfaat yang
jelas. Bayangkan saja jika anggaran sebesar itu dapat digunakan untuk program
pembangunan kawasan terpencil di Aceh, otomatis tidak ada lagi yang namanya
kawasan terpencil atau terisolir di Aceh. Ataupun anggaran ini dapat di
maksimalkan untuk membangun perekonomian rakyat, dapat dipastikan hal ini dapat
mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Sungguh sangat memilukan di kala
anggaran sebesar ini tidak dapat
dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh rakyat Aceh, belum lagi jika dugaan
sebagian besarnya anggaran ini bermuara ke kantong para anggota wakil rakyat
Aceh(DPRA). Tentunya jika dugaan ini tersebut terbukti rakyat Aceh akan sangat
terlukai.
Wahai para wakil rakyat tidak cukupkah anda dengan gaji, tunjangan
dan fasilitas yang diberikan yang membuat anda hidup bergelimang dengan
kemewahan dan kemegahan. Apakah anda akan terus mengorbankan hak-hak rakyat
dengan berbagai alasan demi saluran uang ke kantong dan rekeningmu.
Delky
Nofrizal Qutni merupakan Kabid Advokasi dan Daerah Terpencil Forum Paguyuban
Mahasiswa Pemuda Aceh(FPMPA)
Post a Comment