Aceh yang merupakan suatu daerah Indonesia yang sebelumnya pernah
berjaya di bawah naungan Kerajaan Aceh Justeru beberapa kali pernah di pimpin
oleh perempuan luar biasa. di ukir dalam sejarah, ada beberapa perumpan
Aceh menjadi pemimpin diantaranya Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah.
Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak
Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi
uleebalang (penguasa lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak
disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh
peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan
Katherina II Kaisar Rusia.
Terukir dalam
sejarah, Sultanah Safiatuddin Syah yang merupakan anak tertua dari Sultan
Iskandar muda, beliau memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa
yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya
perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa
terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat
memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan
perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668,
misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama
Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik
pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku
ilmu pengetahuan dan keagamaan.
Tak luput jua
dari sejarah Aceh, sosok Ratu Inayat Zakiatuddin Syah yang digambarkan sebagai
orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa pemeritahannya, Aceh
mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng
pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan
mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng
sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu
lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj
Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683.
Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan
melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu
Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu
sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang sendiri.
Perempuan Aceh
lainnya yang sangat terkenal sebagai pejuang tanoh rencong adalah laksamana
Malahayati. Perempuan Aceh yang satu ini bukan pendekar komik dari negeri antah
barantah yang kerab menjadi perumpamaan pejuang wanita. Ia benar-benar ada.
Keumalahayati namanya. Seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh.
Malahayati merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan
bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan
Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat
kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam militer dari sultan karena
keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ia berasal dari keturunan sultan.
Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga
seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang
memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim
Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal
keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita
yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide
Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda
tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng
pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah
angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India.
Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.
Tak hanya itu
juga pernah menggema nama Cut Nyak dari bumi seramoe mekkah, nama ini laksana
sebuah legenda, dialah istri kedua Teuku Umar Johan Pahlawan. Teuku Umar meninggal,
ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati
di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya
menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose
Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai
sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6
tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa
menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang
menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak
uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848.
Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan
bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan
pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang
rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari
pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung
sepenuhnya apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut
Nyak Dien selalu aktif di garis depan perjuangan. Akibatnya ia jarang berkumpul
dengan suami dan anaknya.
Juga tak lekang
oleh waktu, nama pejuang perempuan lainnya yang begitu akrab di hati Rakyat
Aceh, dialah Cut Meutia. Pejuang satu ini di kenal gadis cantik dan bertubuh
indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang
diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona.
Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku
Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung
sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang
santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak
memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan
saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak
menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya.
Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya
sendiri.
Terkenang pula
di tanoh rencong pusaka nama yang kini menjadi nama sebuah jalan di
kutaraja(sebutan Banda Aceh), dialah Pocut Baren. Putri panglima ulee baling
tungkop ini memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien
ketika masih aktif dalam perjuangan. Ketika suaminya tertembak Belanda,
tidak membuat Pocut Baren mundur, semangatnya malah semakin menggebu. Pocut
Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama
dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia
disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari
tahun 1903 hingga tahun 1910.
Salah satu
sosok pejuang Aceh lainnya dari kalangan hawa yang mungkin kian terlupa adalah
Pocut Meurah Intan. Namun Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur
dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial
(Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari
kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap
Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang
diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh
lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul
Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus
berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian
menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Figur lainnya
yang hadir menggema pasca kemerdekaan adalah Cut Nur Arsyikin. Suaranya
lantunkan gema jeritan dan tangisan rakyat Aceh di tahun 1998-2000. Dia singa podium yang sangat lantang menyuarakan referendum bagi
masyarakat Aceh dulunya. Perempuan ini juga salah seorang pemimpin sebuah
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Karena
gema suaranya di Aceh mengalunkan suara referendum yang begitu lantang dan
garang, dia di beri gelar The Lion of Aceh. Srikandi Aceh itu ditangkap pada
tanggal 20 Mei 2003, dua hari setelah Darurat Militer diberlakukan di Aceh. Dia
ditangkap di rumahnya pada sore hari dan konon ditemukan berbagai dokumen GAM
yang kemudian dijadikan bukti keterlibatannya di pengadilan. Selanjutnya, dia
langsung ditahan di sel Polresta Banda Aceh dan dia pun menjadi salah satu
tahan di penjara. Namun sangat menyayangkan, Tsunami 24 Desember 2006,
menggulung Lhok Nga dan Sekitarnya. Penjara yang hanya satu kilometer dari
laut, hancur dan seluruh penghuninya menjadi korban tsunami, tidak terkecuali
sang singa podium Cut Nur Arsyikin, hingga dia tidak sempat menikmati
perdamaian Aceh.
Mereka adalah para pejuang wanita dan srikandi di bumi Iskandar
Muda. Dan ini hanya sepercik tulisan untuk pengingat, tentang perempuan perkasa
di masa silam, yang mungkin telah dilupakan. Kini rakyat di bumi Iskandar muda
tentunya sangat merindukan sosok pejuang perempuan yang gagah perkasa.
Perempuan berani laksana srikandi, yang terus memperjuangkan hak-hak Rakyat
Aceh. Siapakah dia, sosok yang tegar
adakah dia akan hadir untuk segenap Rakyat Aceh. Sosok itu tentunya bukan sosok
manja yang hanya mampu berlebay, galau dan mengeluh di facebook belaka. Dan dia
bukan sosok yang disibukkan dengan bicara pacaran atau cinta, dan hanya melihat
kepentingan pribadinya saja. Adakah pejuang perempuan Aceh saat ini, yang punya
pengaruh besar dan tegar, berjuang tanpa pamrih? Jika ada dimana dia dan kapan
dia akan hadir di barisan depan perjuangan rakyat?
Delky Nofrizal
adalah aktivis Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh(FPMPA)
Post a Comment